Ini adalah cerita masa lalu ketika aku masih merasa diri ini muda. Saat itu aku diminta seorang gadis untuk menemaninya pergi makan jagung di pantai. Dan hari libur memang telah aku jatahkan untuknya. Lalu berangkatlah kami dengan harapan bahwa masing-masing dari kami bisa megusir bosan menghilangkan kejenuhan.
Sengaja kami memilih tempat duduk paling sudut, bukan karena takut kena asap pembakaran jagung, tapi sekalian cari tempat di mana kami berdua bisa lebih memiliki banyak waktu untuk melepaskan kerinduan. Tapi bukanlah cerita romantis ini yang kan saya bahas. Melainkan cerita indah yang menjadi hikmah buat diri Sang Khilaf ini.
Seruan kebajikan terdengar diantara riuh redam tawa dan cekikikan pasangan muda-mudi yang memenuhi warung jagung bakar. Suara adzan dzuhur yang mengalun dengan nada yang indah terdengar sangatlah kontras tapi aku berusaha untuk tidak menggubrisnya. Aku tetap berusaha fokus pada sosok cantik di depanku. Sampai terdengar kata-kata merdu dari bibirnya yang merah. “Sayang, sebagai muslim selayaknya kau segera menghampiri seruan itu”.
Aku kaget, bagaimana bisa dia yang non muslim menyarankn agar aku segera menegakkan shalat. Sementara aku sendiri berusaha untuk mengabaikannya, pikirku demi menghormatinya. Tapi dia kembali mengulang kalimat itu dan dari sorot matanya terungkap apa yang dia katakan adalah langsung dari dalam lubuk hatinya yang tulus. Karena itu maka aku pun beranjak.
Aku berjalan sambil terus berpikir. Aku muslim tapi aku tak mencerminan diri ini sebagai muslim dalam keseharian. Sementara dia yang non muslim sangat toleran padaku. Aku menangis dalam hati, terharu dan malu pada diri sendiri. Sampai akhirnya aku tiba di batas suci dan aku tertegun, tertunduk bisu.
Di batas suci itu aku mematung, kaki terasa berat untuk melangkah. Bukan karena hati ini yang masih pekat tak ada hidayah. Tapi karena aku merasa teramat hina untuk untuk menginjakkan kaki kotor ini di lantai yang bersih. Apalagi merapatkan diri pada barisan jamaah yang terlihat rapih.
Akhirnya aku tiba di sana dan kuhamburkan diri hina ini pada sajadah, pasrah. Dan air mata berlinang membasahi wajah yang kusam. Lalu aku teringat lagi sosok cantik yang bijak itu. Tak sia-sia Tuhan hadirkan dirimu dalam hidupku..
“Atas nama cinta kuharap kau bisa menerima. Bahwa aku tidak ingin pacaran lagi. Bukan karena aku tak lagi mencintaimu. Tapi karena kau telah mengingatkan sejatinya cintaku. Dan aku mau mencoba belajar mencintai-Nya dan terus mencintai-Nya hingga aku benar-benar terlelap dalam nikmat cinta-Nya.”
“Atas nama cinta, kuhaturkan banyak terima kasih untukmu duhai cintaku. Dan tetaplah bijak pada dunia. Dan ku yakin kau dapat dipertemukan dengan lelaki yang tepat untukmu, yang pasti bukanlah aku.”
“Atas nama cinta, ijinkanlah aku pergi saat ini. Bukan hendak melupakanmu tapi aku hendak mengingat-Nya.”
“Selamat tinggal gadisku, semoga berbahagia selalu dirimu. Dan di hatiku, kau tetap Sang Bijak”